Bonus Demografi: Bonusnya Untuk Siapa?

 



Terus terang baca headline tentang ini tidak terlalu mengejutkan saya. Saya pernah membawakan materi tentang millenials pada sosialisasi Perda di Jawa Timur. Dalam mencari data, saya temukan fakta bahwa memang menjadi ASN atau PNS bukan lagi menjadi hal yang luar biasa untuk millenials. 

Mengapa demikian?

Kita kenalan dulu sama generasi millenial. Banyak yang menganggap bahwa millenial itu anak muda. Pokoknya anak muda pasti millenial.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi melalui www.beresfordresearch.com manusia terbagi dalam beberapa generasi berikut dan usianya di tahun 2022 ini. 

Gen Z1997 – 201210 – 25
Millennials1981 – 199626 – 41
Gen X1965 – 198042 – 57
Boomers II*1955 – 196458 – 67
Boomers I*1946 – 195468 – 76
Post War1928 – 194577 – 94

Apabila syarat CPNS sebagaimana yang telah ditentukan adalah berusia 18-35 tahun saat mendaftar maka para pendaftar adalah setengah generasi Z dan full range of Millenials. Dua generasi yang saat ini mendominasi jumlah penduduk Indonesia, menurut Hasil Sensus Penduduk 2020 menurut data BPS.
Jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia.  Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen. (www.money.kompas.com/read/2021/01/22/145001126/generasi-z-dan-milenial-dominasi-jumlah-penduduk-indonesia?page=all.)
Kondisi ini yang disebut bonus demografi. Dalam beberapa kesempatan pejabat negara sering membahas tentang bonus demografi ini. Bonus demografi adalah keadaan dalam satu negara di mana penduduk yang masuk ke dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dari yang tidak produktif. Kenapa disebut bonus? Karena diharapkan berlimpahnya penduduk usia produktif akan dapat berpengaruh pada meningkatnya perekonomian. 

Saat ini merupakan masa kejayaan generasi millenial, karena mereka ada di usia dan kondisi fisik yang maksimal. Umur 26 tahun (seharusnya) sudah menyelesaikan pendidikan. Saatnya mengaplikasikan apa yang didapat di bangku sekolah atau kuliah.

Tapi, terdapat beberapa karakteristik generasi milenial yang potensial menguntungkan atau merugikan usia produktif mereka. Alexis Abramson, seorang ahli dalam pengelompokan generasi, mengatakan bahwa perbedaan waktu kelahiran menghasilkan karakteristik generasi yang berbeda. Menurut Abramson berikut karakteristik karakteristik milenial yang kita harus tahu (saya padukan dengan sumber lain juga ya):

1. Pemalas. Sepertinya ini sih karakteristik dari gen X seinget saya hahahaha. Pemalas disini artinya generasi millenials sangat suka dengan segala yang praktis dan efisien, sebisa mungkin semua dilakukan tanpa harus banyak usaha atau usaha maksimalnya di awal sisanya berjalan otomatis. Selain itu istilah Digital Naive yang disematkan kepada mereka membuat mereka banyak memanfaatkan teknologi untuk mendukung kegiatan generasi millenial ini.

2. Pengejar kesenangan/pengalaman. Beberapa penelitian mengaitkan karakteristik ini dengan sifat hedonisme. Konon millenial suka mengejar apa yang membuatnya senang, seperti nongkrong di kafe, ngobrol, pamer kesenangannya di media sosial dan lainnya. menurut pengamat digital lifestyle Ben Soebiakto sebagaimana yang dikutip dari CNN, peer pressure dan pengaruh influencer menjadi dua penyebab mengapa millenial cenderung konsumtif. Dijelaskan lebih lanjut, ini biasanya hanya berlaku bagi millenial pada pekerjaan pertamanya, kurang lebih di usia 20-30an. Memang tidak bisa digeneralisir tapi tidak bisa juga kita katakan itu bukan fakta dan kita dapat melihatya melalui media sosial mereka. Yang unik, dalam sebuah artikel menyebutkan millenial saat ini banyak yang memilih untuk menyewa hunian ketimbang membelinya. Takut kredit dan takut 'terikat' menjadi alasannya. Bagi mereka merasakan hunian di tempat berbeda membawa kesenangan tersendiri karena dimana mereka tinggal juga berpengaruh pada efektifitas waktu mereka dalam berkegiatan. Karena itu jangan heran kalau melihat banyak millenial yang memiliki banyak uang namun belum punya rumah sendiri. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mempunyai rumah sendiri untuk ditinggali secara permanent bukan menjadi target mereka. 

3. Sangat mandiri dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, dua hal yang nyambung banget kalau untuk millenial. Untuk mereka pengetahuan apapun bisa didapatkan secara mandiri. Hal ini terutama karena mereka sangat melek teknologi. 

4. Tidak takut untuk mempertanyakan otoritas juga merupakan karakteristik millenial. Mereka generasi yang terbuka sehingga mempertanyakan apapun dan mempertahankan argumen bukan menjadi hal yang harus ditahan. Bagi mereka senior-junior, atasan-bawahan hanya tentang  administrasi, tujuan akhirnya adalah bagaimana teamwork yang dibangun bisa berhasil. Anggapan yang seperti ini membuat mereka seringkali dianggap tidak sopan bagi beberapa orang.

5.  Dari beberapa point diatas masih ada satu karakteristik mereka yang paling utama: terbuka. Millenial terbuka dengan apapun. Hal baru, pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, berbagi ilmu, diskusi daan lainnya. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang memilih informasi apa yang harus dibagikan dan yang harus disimpan supaya tidak diikuti orang lain, millenial seringkali tidak merasa harus merahasiakan pengetahuan yang dimilikinya. Bagi mereka, kolaborasi adalah koentji sehingga tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. 

Nah, 5 karakteristik (dari banyak karakteristik lainnya) diatas menjadi jawaban survey Deloitte Millennial Survey tahun 2018 yang menyatakan bahwa 43 persen Milenial berencana untuk berhenti dari tempat kerja mereka dalam kurun waktu dua tahun, dan hanya 28 persen yang berencana menetap dengan perusahaannya saat ini sampai lebih dari lima tahun dan hasil survei Headhunter Indonesia terhadap 217 Generasi Milenial di Pulau Jawa yang menyebutkan sejumlah faktor utama yang menyebabkan Milenial tidak bertahan lama dan akhirnya membuat angka pergantian karyawan perusahaan menjadi tinggi karena milenial merasa kurang mendapat pelatihan dan pengembangan diri. Mereka berasumsi cara untuk mengembangkan potensi diri adalah dengan berpindah tempat kerja yang dirasa lebih baik, (www.kompas.com/read/2019/05/02/20125571/mengapa-pekerja-milenial-cepat-resign-dari-perusahaan?).

Millenial lebih memilih bekerja mandiri menjadi freelancer daripada full timer dengan segala keterbatasan yang mereka rasakan. Gaji yang ditawarkan bukan merupakan satu-satunya bahan pertimbangan. Kecuali kalau tawarannya tinggi pake banget ya :)
Pergeseran trend ini bukan hanya terjadi di Indonesia, dalam situs Social Media Week dinyatakan bahwa lebih dari 53 juta penduduk Amerika memilih pekerjaan freelance, mengisi sepertiga dari kebutuhan pekerjanya. Pada tahun 2020, diprediksikan kenaikan jumlah peminat freelancing mencapai 50% kebutuhan pekerja di sana. Sementara dalam situs Forbes, Kate Taylor melaporkan bahwa 60% milenial memilih mengundurkan diri dari suatu perusahaan dalam waktu kurang dari tiga tahun. 
Beberapa perusahaan raksasa di dunia seperti Facebook, Twitter, Square dan Upwork menyiasatinya dengan melanjutkan dan mengijinkan karyawannya untuk bekerja dari 'rumah' setelah pandemi usai. Karyawan wajib ke kantor hanya beberapa hari saja.   
Karena bekerja freelance tidak terikat tempat dan waktu, maka tidak jarang banyak yang memutuskan menjual keahlian dan mencari opportuniti pada situs freelancer luar negeri. Mengerjakan tugasnya disini, dapat honornya standart sana. Siapa yang nggak ngiler coba.. 

 
Nah dari fakta dan survey diatas, sudah kebayang kan kenapa millenial nggak sangat berminat menjadi ASN atau PNS? 

Beberapa waktu lalu, bu Sri Mulyani dan pak Tjahyo Kumolo menjawab pertanyaan tentang turunnya minat generasi muda untuk menjadi PNS. Mereka kompak menyatakan kalau mau jadi kaya atau gaji besar ya jangan jadi PNS. 
Lhah, bukannya cari solusi :))

Bukan apa-apa, diantara mereka yang nggak berminat dan memutuskan mundur ini ada calon menteri, ada calon kepala dinas dan mereka bisa saja orang-orang yang tepat untuk kemajuan pembangunan bangsa, yang sebenarnya siap mengabdi pada negara.
Dalam platform media sosial Quora pernah ditanyakan mengapa memilih mengundurkan diri dari PNS. Jawabannya beragam, kebanyakan berusia menjelang atau sedikit diatas 30. Mereka sudah masuk dan merasakan di dalam. Alasan mereka keluar juga beragam, mulai dari gaji terlalu kecil untuk penempatan yang jauh, terlalu monoton, nggak cocok dengan atasan (dianggap nggak sopan) sampai dengan budaya 'ngerjain anak fresh graduate' dengan deskripsi detail mereka. Intinya pengorbanan atas serba serbi ini nggak sepadan sama apa yang didapat. Bukan cuma uang ya, termasuk ilmu dan pengembangan karir.

Cerita nyata seperti ini sedikit banyak bisa bikin jiper calon pendaftar, karena pasti juga beredar di platform media sosial lainnya. Ditambah statement yang seolah nggak butuh mereka, ya pasti kaburlah.. 

Kenapa nggak fokus saja ke pembenahan ya? 
Birokrasi juga butuh orang dengan mindset yang terbuka, yang luar biasa kalau diajak kerjasama.

Selama situasi kerja, birokrasi, gaji, jenjang karir dan budaya senior junior tentang PNS seperti yang selama ini menjadi rahasia umum tidak dibenahi, maka negara akan selalu kehilangan generasi muda yang siap diajak 'lari' bareng, lari kenceng  generasi muda yang 'nggak ngerepotin' yang justru akan memberikan solusi dan inovasi karena karakteristiknya yang adaptif, terbuka terhadap setiap perubahan dan fokus pada pengembangan teamwork mereka.



"Bagi millenial, sebuah pekerjaan bukanlah sekedar pekerjaan, 
tapi juga merupakan hidup mereka"

-Jim Clifton










Komentar