Pada 17 Mei 2022 lalu, bendera
pelangi simbol LGBT dikibarkan berjejer dengan bendera Inggris Union Jack di
tiang bendera Kedubes Inggris. Ini dilakukan sebagai peringatan hari anti-homofobia
yang diperingati dunia setiap 17 Mei. ada Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan
Transfobia (IDAHOBIT) - kami mengibarkan bendera LGBT+ dan menggelar acara,
demi kita semua yang merupakan bagian dari satu keluarga manusia," tulis
Kedutaan Besar Inggris untuk RI melalui akun resmi Instagram @ukinindonesia(www.cnbcindonesia.com: heboh-kedubes-inggris-di-jakarta-kibarkan-bendera-lgbt).
Banyak pihak memberikan reaksi atas kejadian ini mengingat
selama ini hubungan kita dengan Inggris baik-baik saja, saling menghormati dan
menghargai. Terakhir pemerintah melalui Menteri luarnegeri dan Menteri BUMN
melakukan kunjungan dalam hal pengadaan vaksin untuk penanganan Covid di
Indonesia. Hubungan diplomatic antara dua negara ini terjalin sangat erat dan
supportive. Hingga tiba-tiba muncul ‘insiden’ berkibarnya bendera Pelangi yang
konon merupakan symbol mendukung LGBT. Pertanyaan yang muncul adalah apakah hal
seperti ini tidak diatur dalam hukum diplomatic, mengingat pengiriman dan
penerimaan wakil dari satu negara ke negara lain adalah bagian dari diplomasi
yang terdapat dalam hukum internasional.
Hukum diplomatic mendapatkan pijakan
yang kuat setelah disepakatinya sebuah perjanjian antar negara yaitu Konvensi
Wina 1961. Hubungan diplomasi dilakukan antar negara dengan tujuan untuk mengembangkan
hubungan persahabatan antar bangsa, terlepas dari sistem konstitusional dan
sosial mereka yang berbeda.
Konvensi Wina memberikan perwakilan negara asing tiga macam
kekebalan (immunity), yaitu:
1. Imunitas pribadi pejabat diplomatic untuk menjalankan
tugas sebebas mungkin, mereka beserta rumah dan barang yang dimiliki tidak
boleh dihalang-halangi atau diganggu gugat. (pasal 29 dan 37 ayat 1)
2. Imunitas harta benda. Barang-barang mereka dibebaskan dari
bea-cukai dan pajak dalam batas-batas tertentu. (Pasal 34 dan 36)
3. Imunitas yuridiksi, yaitu perlindungan dari tuntutan
perdata ataupun pidana dalam hal yang berhubungan dengan tugas resminya.( Pasal
31 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 41 (ayat 1) serta Pasal 9).
Berdasarkan imunitas yang diberikan, seorang perwakilan
diplomatic memiliki kebebasan untuk menjalankan kewajiban untuk negara asal.
Namun dalam setiap hak pasti melekat kewajiban. Dalam Hak imunitas juga melekat
kewajiban yang juga diatur dalam konvensi yang sama.
Salah satu kewajiban terdapat dalam pasal 41 (ayat 1) yang
mengatur bahwa tanpa merugikan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum perwakilan diplomatik, menjadi kewajiban semua
orang yang menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu untuk menghormati
hukum dan peraturan negara
penerima (Without
prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons
enjoying such privileges
and immunities to respect the laws and regulations of the receiving State).
Indonesia merupakan negara yang
berketuhanan, yang mengakui eksistensi beberapa agama sebagaimana sila pertama
dasar negara kita. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengutip pernyataan Mochtar Kusumaatmaja saat
menjadi narasumber dalam sebuah acara bahwa sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa pada hakikatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional
yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan
agama.
Sebagai negara dengan penduduk
muslim yang sangat besar tentu saja peraturan perundangan kita tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama, dalam hal ini yang berlandaskan Al Qur’an.
Salah satu ayat Al Qur’an yang
secara tegas melarang tentang perbuatan ini adalah dalam surat Al A’Raf ayat
81, yang menurut Tafsir Ringkas Kemenag dijelaskan sebagai berikut:
"Sungguh, kamu benar-benar telah
melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki dengan mendatangi mereka
dari duburnya, bukan kepada perempuan yang seharusnya kepada
merekalah kamu menyalurkan naluri seksualmu. Kamu telah melakukan perbuatan
yang sangat keji dan rendah serta durhaka. Bahkan kamu benar-benar kaum
yang melampaui batas karena melakukan pelampiasan syahwat bukan pada
tempatnya, menyimpang dari fitrah manusia."
Ayat ini adalah satu dari
beberapa ayat yang membahas tentang larangan hubungan sesame jenis.
UU no 1 tahun
1974 tentang Perkawinan memberikan definisi tentang perkawinan sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Frase seorang pria dan wanita merujuk pada
jenis kelamin yang berbeda, bukan sekedar istilah atau peran dari hubungan dua orang
dengan jenis kelamin yang sama. Artinya, peraturan perundangan kita tidak
memberi celah untuk mengakui eksistensi pasangan selain pria dan wanita.
Bagaimana dengan fakta bahwa di masyarakat kita kelompok ini ada? Selama tidak
ada aturan yang khusus melarang orientasi seksual yang menyimpang seperti ini
maka tidak ada sanksi yang dapat diberikan. Namun eksistensi aturan agama dan
nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat dapat dijadikan landasan bahwa masyarakat
kita menolak pengakuan terhadap pasangan sejenis dan semacam itu.
Dalam hukum
internasional dikenal asas non diskriminasi bahwa satu negara tidak boleh
memberikan perlakuan berbeda kepada negara satu dengan negara lainnya, demikian
juga dalam Konvensi Wina 1961 yang telah
diratifikasi melalu UU no 1 tahun 1982. Namun dalam pasal 47 konvensi ini
‘hanya’ mengatur tentang negara penerima yang tidak boleh membedakan antara
Negara-negara. Negara penerima tidak boleh memberikan perlakuan yang berbeda
kepada satu perwakilan diplomatic dengan perwakilan diplomatic lainnya. Sayang
sekali tidak diatur tentang sebaliknya sehingga kita tidak bisa protes mengapa
bendera tersebut tidak dikibarkan oleh Kedutaan Besar Inggris di Malaysia.
Secara karakteristik dan demografi penduduk, Indonesia tidak berbeda jauh
dengan Malaysia, termasuk dalam hal pengakuan atas hukum agama dan nilai
social.
Menteri Luar
Negeri kita Retno Marsudi telah menjadwalkan pemanggilan duta besar Inggris
untuk Indonesia pada 23 Mei 2022. Mempertanyakan alasan pengibaran bendera
symbol LGBT di Kedubes Inggris merupakan langkah yang tepat karena mereka
seharusnya ingat bahwa Indonesia pernah menolak desakan PBB untuk menerima LGBT
pada Sidang Dewan HAM PBB untuk Universal Periodic Review di Jenewa pada 3-5
Mei 2017. Periodic review adalah bentuk kewajiban pelaporan berkala yg hrs
dibuat oleh negara anggota thd implementasi aturan-aturan HAM yang telah
disepakati. Ketika Dewan HAM mengesahkan resolusi ttg LGBT tahun 2016, Perwakilan
Indonesia untuk PBB menyatakan bahwa kita tidak terikat dengan keputusan tersebut
karena Indonesia termasuk negara yang menolak sehingga dalam periodic review Indonesia
tidak perlu mencantumkan/ melaporkan tentang pelaksanaan isi resolusi sesuai
dgn pernyataan yg sdh dibuat di tahun 2016. Memang. perlawanan terhadap rancangan aksi
ramah gay dan lesbian ini sudah dimulai sejak konferensi tentang kota di Surabaya pada Juli 2016. Utusan pemerintah Indonesia di
hadapan ratusan delegasi seluruh dunia saat itu menyatakan tidak ada ruang bagi
LGBT diakui secara legal formal oleh negara. Indonesia bergabung bersama Rusia,
Qatar, Bangladesh, Arab Saudi, Nigeria, Malaysia, Pakistan, hingga Uni Emirat
Arab menuntut istilah LGBT dihapus. (www.merdeka.com/dunia/indonesia-dan-17-negara-tolak-naskah-pengakuan-hak-lgbt-di-pbb.html)
Karena itu tidak salah kiranya bila beberapa pihak menganggap pengibaran
bendera ini merupakan bentuk provokasi atau
sekedar cek ombak untuk tahu bagaimana reaksi masyarakat Indonesia terhadap isu
LGBT atau justru merupakan upaya agar Indonesia bersedia mengakui sebagaimana Inggris
yang telah menerima pernikahan sesama jenis sejak 2014.
Pada akhirnya,kita tunggu jawaban
dari pihak Kedubes Inggris dengan harapan semua pihak dapat belajar dari
kejadian ini bahwa penting bagi negara pengirim untuk lebih peka lagi terhadap hukum,
nilai dan norma yang berlaku di negara penerima agar tidak mencederai
kesepakatan yang telah dibuat pada Konvensi Wina. Kelemahan sifat hukum
internasioanl yang tidak dapat memaksa membawa konsekuensi bagi negara-negara
pihak agar senantiasa saling menghormati untuk menghindari perselisihan. Selain
itu, hubungan yang terjalin melalui perwakilan diplomatik sejatinya diharapkan dapat
lebih meningkatkan persahabatan antar negara dan bukan sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar