3..2..1.. Doorrr!


Beberapa hari terakhir beredar banyak kritik di media social tentang salah satu tayangan Youtube yang membahas tentang LGBT. Dalam tayangan tersebut narasumber menjelaskan bagaimana pasangan sesama jenis survive dan memutuskan untuk hidup di Jerman karena merasa disana mendapatkan kebebasan untuk hidup secara ‘normal’ daripada di Indonesia. Dengan judul tayangan yang memancing sekaligus mencoba menetralisir dalam satu kalimat: TUTORIAL JADI G4Y DI INDO‼️= PINDAH KE JERMAN (tonton sblm ngamuk) RAGIL AND FRED.

Memang akhirnya banyak yang tertarik menonton, saya pun demikian dengan harapan bisa membuka wawasan saya tentang kehidupan saudara-saudara kita yang telah memilih jalan hidupnya, dan menghargai kehidupan masyarakat kita dengan memutuskan tinggal diluar negeri.
Masalahnya, baru mencapai 23 menit saya temukan beberapa kata dan kalimat yang selama ini dikenal tabu, seperti “kalau aku pegang itu (merujuk pada alat kelamin) berdiri nggak?” dan kalimat “kok (kamu) jadi punya tet*k?”.

Karena tayangan ini disiarkan di ranah internet maka yang berlaku adalah Undang-Undang ITE. Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 
Frase melanggar kesusilaan sempat menjadi perdebatan karena tidak adanya aturan lanjutan tentang definisi kesusilaan. Dalam UU no 44 tahun 2008 tentang Pornografi hanya memberikan definisi tentang pornografi. Pornografi memiliki ranah yang berbeda dengan kesusilaan.  Institute for Criminal Justice (ICJR) juga pernah mendesak agar definisi kesusilaan dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE direvisi. ICJR menilai UU ITE tidak memberikan penjelasan mengenai melanggar kesusilaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kesusilaan adalah perihal Susila, yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, norma yang baik, kelakuan yang baik, tata krama yang luhur.

Pada 23 Juni 2021 Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri menandatangani satu keputusan bersama atas implementasi pasal tertentu UU ITE. Pedoman untuk “pasal kesusilaan” disandarkan pada UU ITE dan pasal 281 dan 282 KUHP. Muatan melanggar kesusilaan dalam arti luas dimaknai sebagai konten yang berisi satu hal yang dianggap masyarakat melanggar aturan sosial yang disepakati dalam sebuah masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengucapkan kata-kata vulgar dalam konteks seksual atau pornografi di depan publik merupakan perbuatan yang melanggar aturan dan norma sosial. Itulah sebabnya dilarang diucapkan dalam forum formal dan dalam media massa.  Peraturan KPI No 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran juga mewajibkan semua Lembaga penyiaran untuk memperhatikan norma dan nilai yang ada di masyarakat, termasuk (dan tidak terbatas pada) norma kesopanan dan kesusilaan.  Tayangan Youtube sejauh ini tidak (atau belum) masuk ranah penyiaran, karena channel Youtube bukanlah Lembaga penyiaran. Sejauh ini, aturan tentang tayangan Youtube diperlakukan sama dengan konten media social lainnya. 

Fokus pasal kesusilaan menurut Pedoman Implementasi pasal tertentu UU ITE terletak pada perbuatan, yaitu mendistribusi, transmisi dan membuat dapat diaksesnya satu konten yang melanggar. Artinya, pemilik atau pengunggahlah yang bertanggung jawab atas tayangan di Youtube. Termasuk bila terdapat narasumber yang mengeluarkan statement yang melangggar aturan. Apalagi  kalau tayangannya berupa rekaman yang seharusnya bisa diedit, tapi tidak dilakukan. 
Aturan ini berlaku juga untuk penulisan judul. Judul merupakan bagian dari konten. Judul adalah pemikat pengguna supaya tertarik menonton. Tidak heran banyak yang menggunakan judul yang provokatif , mind catching atau lainnya. Pihak Youtube sebenarnya juga mengatur tentang penulisan judul ini. Ada aturan yang harus ditaati, ada kata-kata yang tidak boleh dicantumkan karena yang mengandung kekerasan, pornografi dan lainnya. Inilah kenapa penulisan judul menggunakan campuran huruf dan angka atau symbol-simbol supaya tidak terbaca system, seperti judul tayangan yang telah disebutkan diatas kata gay ditulis dengan ejaan G4Y. Peraturan perundangan kita tidak mengatur tentang hal demikian. Selama dapat terbaca  maka setiap kata memiliki konsekuensi.
Kondisi seperti ini memunculkan kembali bahasan tentang persamaan dan perbedaan karakteristik antara siaran di media konvensional dan tayangan youtube. Bisa ditonton siapapun, format acara yang sama, penayangan berbagai jenis iklan, jumlah penonton atau pelanggan (subscriber) digunakan sebagai ‘kekuatan’ dan sebagainya. Saat ini baik penyiaran konvensional ataupun melalui Youtube telah menjadi sebuah industry. 

Perbedaan yang paling signifikan antara siaran konvensional dengan Youtube yang tampak terletak pada ‘kebebasannya’, baik dalam bentuk materi yang dibahas atau kegiatan yang dipertontonkan. Dalam banyak tayangan kata umpatan, makian, atau aktivitas merokok dilakukan secara terang-terangan. Hal yang tidak mungkin kita saksikan pada siaran konvensional, setiap tayangan karena terikat pada undang-undang dan pedoman penyiaran. 

Pada bulan Januari 2021 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran. RCTI dan iNews TV saat itu meminta negara hadir dan mengatur layanan Over The Top (OTT) untuk tunduk pada UU Penyiaran supaya tidak terjadi un-equal treatment antara siaran konvensional dengan penyelenggara penyiaran menggunakan internet (OTT) tersebut. Permohonan ini bukan tidak beralasan, karena  berdasarkan studi Nielsen pada 2018, durasi menonton platform digital mendekati durasi menonton televisi konvensional. Berdasar data yang dilampirkan tercatat pula grafik teguran KPI untuk beberapa program yang ditayangkan stasiun tv. (Ini membuktikan bahwa KPI aktif memberi peringatan dan sanksi atas setiap pelanggaran). Dasar penolakan oleh MK karena perbedaan karakter antara keduanya dan selain iitu karena yang dipermasalahkan adalah ketentuan umum undang-undang sehingga bila harus dilakukan pengubahan definisi maka akan mengubah keseluruhan aturan dalam UU Penyiaran tersebut.  (Republika.co.id, 14 januari 2021).

Jadi, apabila tidak termasuk dalam Lembaga penyiaran lantas pertanyaan berikutnya : apakah tayangan Youtube dapat dipersamakan dengan media social lainnya?

Pada dasarnya Youtube juga merupakan platform media social. Memungkinkan untuk menerima subscription, like, comment, dapat melakukan interaksi serta berbagi informasi, foto atau video antar pengguna menjadi salah satu karakteristik yang membuat Youtube dapat dimasukkan ke dalam kategori media social. 
Namun dalam perjalanannya, system pembagian hasil yang dilakukan Youtube atas tayangan yang banyak ditonton dan channel yang dapat mengumpulkan pelanggan/ subscriber membuat pemilik channel atau cotent creator memutuskan untuk mengelola secara professional setiap tayangan sebagaimana tayangan televisi. Ada produser, background, jingle, talent dan lainnya sebagaimana yang dibutuhkan produksi sebuah tayangan konvensional. Targetnya supaya banyak yang suka dan banyak yang berlangganan. Hal ini yang membuat Youtube berbeda dengan media social lain yang juga popular di Indonesia, seperti facebook dan Instagram. Durasi yang sangat panjang juga menjadi pembeda sekaligus keuntungan Youtube. Durasi sebuah tayangan Youtube dapat disamakan dengan tayangan televisi. Dengan keleluasaan tersebut content creator dapat membuat konsep, akan seperti apa menggunakan channelnya. 

Sayangnya, tidak jarang mereka gunakan berbagai cara supaya target jumlah penonton dan pelanggan terpenuhi.  
Perbedaan karakteristik Youtube dengan platform media social popular lain selayaknya menjadi bahan pertimbangan untuk tidak memberi perlakuan sama antara keduanya. Konten Youtube tidak sama dengan unggahan facebook atau Instagram. Lebih cocok disebut tayangan daripada  sekedar unggahan, walaupun tetap harus diunggah terlebih dahulu untuk dapat dipublikasikan. Menurut KBBI tayangan merujuk pada pertunjukkan. Walaupun masuk dalam kategori media social, namun Youtube fokus pada materi yang ditayangkan, dan bukan bagaimana antar pengguna dapat berhubungan.

Bila Youtube merupakan tempat publikasi tayangan maka bagaimana melakukan filter terhadap tayangan tersebut sebagaimana tayangan konvensional? 
Karena siapapun dapat mengakses kapanpun, siapa saja dapat membuat tayangan apa saja. 

Mengembalikan tanggung jawab atas tayangan kepada content creator sama dengan memberikan senjata untuk orang yang belum tentu bisa menggunakannya.Bisa sia-sia. Aturan yang dibuat dalam pedoman komunitas Youtube terhadap kontennya memang patut  diapresiasi, namun sanksi yang diberikan hanya kepada tayangan saja. Take down tayangan akan diproses setelah ada yang melaporkan. Kemudian bagaimana dengan pertanggung jawaban pembuatnya?

UU ITE dan undang-undang lainnya dalam hal ini juga hanya bersifat pasif, juga baru akan bekerja kalau ada pelanggaran yang dilaporkan. Apakah cara seperti ini efektif untuk mencegah tayangan yang menyimpang? 
Sudah saatnya dibutuhkan regulasi tambahan supaya pemilik chanel atau content creator selalu menjaga tayangannya karena memanfaatkan teknologi memang merupakan hak asasi warga negara, namun negara harus memastikan bahwa penggunaan teknologi tersebut untuk kepentingan masyarakat, termasuk untuk menjaga kehidupan social masyarakat. Content creator Youtube yang memanfaatkan penonton untuk mencari keuntungan sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk membuat tayangan yang membangun dan mencerdaskaan, bukan justru ‘menjerumuskan’. Harus ada ‘aturan main’ sebagaimana tayangan lain demi tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan agar dalam menggunakan haknya seorang content creator tidak melanggar aturan dan hak pengguna lainnya.






 


Komentar