Kewajiban SCOPUS: (Dipaksa) Produktif Di Tengah Isu Kontraproduktif
Membaca opini salah
satu media tentang kewajiban Scopus yang disalah gunakan, saya tercengang. Begitu
gamblang penjelasannya tentang praktek hantu yang sedang marak dilakukan.
Sampailah saya pada kata-kata bahwa dosen kita memiliki kelemahan yaitu tidak
mampu untuk menulis artikel bahasa Inggris struktur kata, gaya, tata bahasa
yang disyaratkan. Dan kemudian saya ingat bahwa terhitung lebih dari 3 kali
pimpinan kampus kami mewajibkan dosen hadir dalam pelatihan untuk penulisan
jurnal internasional bereputasi, khususnya yang terindeks Scopus. Berguru pada
ahlinya, yang juga kebetulan ‘dosen kita’.
Aturan yang
ditetapkan tentang publikasi internasional bertujuan untuk meningkatkan mutu
dan kualitas lulusan sekaligus reputasi perguruan tinggi sebagaimana yang
disampaikan Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bapak Ali Ghufron Mukti. Menurutnya tenaga
pendidik atau dosen memiliki peran besar dalam mempersiapkan generasi masa
depan yang kompetitif.
Mengutip salah satu
surat kabar di tanggal 5 Juni 2017 yaitu “sebanyak 34.933 dosen di Indonesia
masih bergelar sarjana atau S-1, sedangkan jumlah profesor masih kurang sekitar
16.000 orang. Saat ini, profesor yang ada baru sebanyak 5.489 orang. Padahal,
dengan total perguruan tinggi yang mencapai 4.350 kampus, paling sedikit
dibutuhkan sekitar 22.000 profesor”. Indonesia
masih minim professor, sedangkan regenerasi harus cepat dilakukan agar kualitas
pendidikan tinggi terjaga.
Permenristekdikti
nomor 20 tahun 2017 (tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan
Profesor) memberi syarat bahwa lektor
kepala dan guru besar memiliki kewajiban untuk publikasi pada jurnal
internasional yang bereputasi dan salah satu yang dianggap paling
bagus adalah terindeks Scopus. Melihat itu maka kami, dosen yang relatif junior
ini berlomba-lomba untuk dapat meraihnya. Segala cara kami lakukan, salah
satunya dengan melakukan kolaborasi. Lintas bidang pun kami tempuh supaya
tulisan kami terlihat ‘kaya’ dan dapat diterima. Kolaborasi ini sangat membantu
karena reviewer internasional memiliki standart sendiri yang berbeda dari
jurnal dalam negeri. Semakin tinggi peringkatnya, semakin luas dan dalam kajian
yang diharapkan mereka. Dalam hal ini kolaborasi adalah kunci. Maka ketika seorang
senior mengatakan bila ada nama peneliti yang muncul dalam jurnal yang tidak
sesuai bidangnya adalah satu kejanggalan maka saya berpikir keras. Saya
melakukannya, kami melakukannya, dan dalam pelatihan penulisan jurnal
internasional pembicara menyarankannya. Bukan tidak mungkin nama saya muncul
dalam jurnal Ilmu Komputer, karena saya membahas sisi ITE hasil kolaborasi
dengan rekan saya, dosen fakultas ilmu komputer. Ketika itu dianggap kesalahan
maka kami harus menyetel ulang apa yang sudah tertanam di benak kami. Saya
pribadi merasakan, ketika saya menulis dan memasukkannya dalam jurnal
internasional seorang diri tidak lebih mudah daripada bekerjasama dengan rekan lain,
baik dari universitas lain maupun dari bidang lain. Hingga kinipun jujur saja
tidak banyak penelitian saya dapat ‘tembus’, saya harus lebih keras berjuang, walaupun
tetap saya syukuri karena ini membuktikan jadi dosen tidak mudah. Ya, saya
sedang menghibur diri.
Konon, kegagalan akan membuat kita
lebih lincah menghindari hambatan. Sepertinya itu yang dirasakan oleh
rekan-rekan kami yang sudah menemukan ‘kunci’ untuk menembus jurnal
internasional yang bereputasi, bahkan yang terindeks Scopus. Mereka sampai tahu
bahwa titik dan koma yang salah peletakannya dapat membuat satu tulisan gagal
masuk proses review. Tidak heran kalau mereka terlihat produktif dalam menulis.
Mereka sudah paham bagaimana menghindari penolakan. Hal yang masih harus saya
hadapi hingga kini. Salut saya untuk beliau-beliau ini, terutama karena sering
menularkan ilmunya kepada rekan sejawatnya yang masih butuh ‘bimbingan’. Alih-alih
curiga, saya malah tertegun manakala ada satu tulisan saya yang saya rasa sudah
sempurna ternyata masih cacat dimana-mana, tidak sesuai format katanya. Mengutip
Identitas, majalah Universitas Hasanuddin pada bulan Juli 2018 Sekretaris
Eksekutif Publication Management Center (PMC), Dr Muhammad Arsyad menyatakan bahwa jurnal-jurnal yang terindeks scopus terutama
diposisi Quartile Q1, Q2 memiliki Peer Review Process yang sangat ketat
(menacapai 5-6 rounds) dan tidak ada Conflict of Interest, sehingga paper yang
berhasil publish di jurnal tersebut memiliki kualitas yang sangat baik. Karena
itu, situasi dan indeksasi authorship akan menjadi tinggi dan akan berdampak
positif terhadap rating universitas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa indeksasi
Scopus memiliki database terbaik untuk urusan publikasi internasional.
Jadi jelas bahwa alasan untuk mengejar
publikasi jurnal yang terindeks Scopus selain sebagai tanggung jawab atas
jabatan fungsional Lektor Kepala dan Guru Besar atas publikasi jurnal
internasional yang bereputasi (walaupun tidak harus Scopus), juga karena efektif
untuk menaikkan rating publikasi universitas . Kami dilatih sejak dini untuk
mulai ‘menabung’ dan untuk ‘membiasakan diri’.
Komentar
Posting Komentar