Kasus Amaq Sinta: Pasal Pembelaan Diri Saatnya Direvisi?
Murtede alias Amaq Sinta (34) akhirnya bisa berkumpul
kembali dengan keluarganya di Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya
Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat setelah mendapat
penangguhan penahanan dari penyidik Polres setempat.
Ia merupakan korban begal yang ditahan polisi dan ditetapkan
menjadi tersangka, karena membunuh dua begal dan melukai dua begal yang lain.
Ia dibegal empat orang saat mengendarai sepeda motornya di jalan Desa Ganti
untuk mengantarkan makanan buat ibunya, di Lombok TImur, pada Minggu malam
(10/4). Dibegal empat orang begitu, dia tidak melarikan diri melainkan membela
diri dan bertarung dengan mereka.
"Saya melakukan itu, karena dalam keadaan terpaksa. Dihadang
dan diserang dengan senjata tajam, mau tidak mau harus kita melawan.
Sehingga seharusnya tidak dipenjara, kalau saya mati siapa yang akan
bertanggung jawab," katanya.
Ia menceritakan kejadian itu, ketika akan pergi ke Lombok
Timur untuk mengantarkan makanan buat ibunya, sesampai di TKP ia dihadang dan
diserang para pelaku menggunakan senjata tajam. Selanjutnya ia melawan para
pelaku dengan sebilah pisau kecil yang dia bawa sambil teriak meminta tolong,
namun tidak ada warga yang datang.
Akibat kejadian itu, Sinta yang memiliki dua orang anak itu
badannya terasa sakit akibat terkena senjata tajam dari para pelaku.
Dalam kejadian itu dua pelaku tewas setelah bersimbah darah.
Sedangkan dua pelaku lain melarikan diri setelah dua kawannya tumbang di
tempat. "Setelah itu saya pergi ke rumah keluarga untuk menenangkan
dari," katanya. (https://id.yahoo.com/berita/amaq-sinta-yang-lawan-empat-052843730.html)
Berita ini sedang hangat diperbincangkan, banyak yang
membela Amaq Sinta karena bukan pembegalan sangat meresahkan, sehingga bila ada
yang berani melawan diharapkan bisa memberikan pelajaran dan efek jera bagi
pelaku. Penahanan dan penetapan sebagai tersangka membuat masyarakat merasa
kecewa karena pemberani seperti Amaq Sinta justru harusnya diapresiasi.
Dalam KUHP pembelaan diri karena terpaksa diatur Hal ini
diatur dalam Pasal 49 yang mengatur:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan
pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan
kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau
ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Artinya bahwa apabila seseorang terpaksa membela diri sendiri
ataupun orang lain dari serangan atau ancaman yang sangat dekat atas kehormatan
kesusilaan atau harta benda maka tidak dapat dipidana.
Menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal”
(hal. 65-66), yaitu terdapat syarat pembelaan terpaksa:
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus
terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat
perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan
yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela
kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau
melukai orang lain.
2. Pembelaan atau pertahanan itu
harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal
itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
3. Harus ada serangan yang melawan
hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.
(sebagaimana dikutip dari Hukum online.com)
Artinya batasan pada pembelaan diri adalah proporsionalitas antara
serangan dengan balasan. Misalnya seseorang diserang dengan tangan kosong maka
tidak dianggap terpaksa membela diri kalau yang diserang membalasnya dengan menusukkan
pisau bertubi-tubi kepada penyerang hingga meninggal dunia. Kenapa demikian? Karena
tidak seimbang antara akibat karena serangan dengan akibat karena pembelaan.
Sebenarnya istilah self defence juga dikenal dalam hukum
internasional yang mensyaratkan necessity dan proportionality. Bahwa self defence
haruslah menjadi satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk menghadapi serangan dan
ancaman yang dihadapi dan kewajiban untuk memastikan bahwa upaya pertahanan
diri harus proporsional dengan serangan.
Asas proporsionalitas dalam pertahanan diri atau pembelaan terpaksa berkaitan dengan kondisi, waktu, dan akibat. Artinya pembelaan/pertahanan diri yang dilakukan harus menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri atau orang lain atas serangan yang dihadapinya, harus dilakukan di saat yang sama dengan serangan atau ancaman yang dihadapi dan harus memiliki akibat yang seimbang antara serangan dengan pembelaan.
Di sisi lain dalam hukum pidana juga dikenal teori prasyarat atau asask kausalitas yang dikenal dengan conditio sine qua non dipelopori oleh Von Buri di Jerman pada tahun 1869 yang inti ya adalah “suatu hal adalah sebab dari suatu akibat apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Teori ini sering dinamakan juga dengan teori ekuivalensi atau teori syarat. Penggunaan teori ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Prof Moeljatno yang merupakan ahli hukum pidana juga menolaknya karena akan sangat susah menyamakan (atau membedakan) nilai antara syarat dengan musabab.
Bukan tidak mungkin perjalanan waktu asas ini akan diterima dalam kasus seperti ini, karena memang pasal tentang pembelaan karena terpaksa tipis
irisannya dengan pasal penganiayaan dan penghilangan nyawa.
Dalam kasus Amaq Sinta, sebagaimana yang dikutip media,
telah terjadi penyerangan oleh pembegal yang berjumlah 4 orang terhadap Amaq
Sinta dan satu temannya dengan menggunakan senjata tajam.
Karena merasa dirinya terancam maka Amaq Sita melakukan
pembelaan yang mengakibatkan meninggalnya 2 dari 4 penyerang (pembegal) terseut.
Mari kita breakdown satu per satu sesuai dengan asas
proporsionalitas pembelaan diri yang dilakukan.
1. Amaq Sinta melakukan pembelaan diri karena sedang
diserang, posisinya hanya berdua melawan 4 orang cukup untuk membuktikan bahwa penyerangan
balik yang dilakukannya adalah satu-satunya cara untuk bertahan
2. Pembelaan diri dilakukan Amaq Sinta disaat penyerangan
terjadi, sehingga tidak ada jeda antara penyerangan dengan pertahanan
3. Pembelaan diri yang dilakukan Amaq Sinta mengakibatkan 2
dari 4 pelaku begal tewas di tempat. Hal ini yang mengakibatkan Amaq Sinta
disangkakan melakukan tidak pidana pembunuhan.
Dalam ntb.inews.id dengan
judul " Cerita Amaq Sinta Lawan 4 Begal di Lombok, Tak Bisa Kabur hingga
Siap Berduel ", Klik untuk baca: https://ntb.inews.id/berita/cerita-amaq-sinta-lawan-4-begal-di-lombok-tak-bisa-kabur-hingga-siap-berduel/3
diberitakan bahwa selain menetapkan korban menjadi tersangka dalam dugaan kasus
pembunuhan dan penganiayaan, dua begal berinisial WH dan HO, warga Desa Beleka
yang berhasil melarikan diri, juga ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus
tindak pidana curat. "Korban begal dikenakan pasal 338 KHUP menghilangkan
nyawa seseorang melanggar hukum maupun pasal 351 KHUP ayat (3 ) melakukan
penganiayaan mengakibatkan hilang nyawa seseorang," menurut Wakil Kepala
Polres Lombok Tengah, Komisaris Polisi Ketut Tamiana, pada konferensi
pers di halaman Polres Lombok Tengah, Selasa.
Pasal 338 KUHP mengatur bahwa
barangsiapa dengan sengaja mencabut nyawa orang lain diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 351 mengatur:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Bila dilihat sekilas Amaq Sinta memang menghilangkan nyawa
orang lain. Namun syarat mens rea (kehendak) dalam pasal 338 juga harus
dibuktikan dalam kasus ini. Bahwa Amaq Sinta harus ‘sengaja’ untuk melakukan
pembunuhan.
Dalam ilmu hukum pidana di kenal 3 jenis bentuk sengaja
(dolus) yaitu : Sengaja sebagai maksud, sengaja berinsyaf kepastian dan sengaja
berinsyaf kemungkinan. Yang pertama memiliki arti memang dari awal sengaja dengan maksud
atau tujuan tertentu. Yang kedua sengaja yang berupa kesadaran atas kepastian
akibat yang terjadi. Yang ketiga adalah sengaja karena kesadaran atas
kemungkinan akibat yang akan terjadi. Jadi bukan hanya sadar melakukannya,
namun juga paham atas kepastian dan kemungkinan akibat pembelaan yang dilakukan.
Pertanyaannya: bisakah kesengajaan ini dipikirkan oleh orang
yang berada dalam posisi terdesak? Bila terbukti sengaja maka bisa saja Amaq Sinta
dianggap melakukan perbuatan pidana, demikian sebaliknya.
Pihak kepolisian tentu memiliki formulasinya sendiri sebagai
penegak hukum.
Apabila kasus ini dilanjutkan, nantinya hakim yang akan
memutuskan secara cermat dan tepat berdasarkan kronologi kasus untuk keadilan, kepastian
hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat.
Melalui putusan tersebut akan dapat kita ketahui apakah aturan
tentang pembelaan terpaksa masih relevan untuk dipertahankan, atau justru membutuhkan
perubahan.
Bagaimanapun masyarakat berhak untuk hidup aman dan nyaman dan
tugas negara untuk menjaminnya
Komentar
Posting Komentar