Tentang Laut Natuna Utara
SATU AKSI BERAGAM REAKSI
“Laut Cina Selatan terlalu menarik untuk tidak dimiliki, toh namanya
pakai nama kita” Mungkin itu yang dipikirkan Cina ketika ngotot mempertahankan
klaimnya atas Laut Cina Selatan. Sebagaimana yang juga terjadi pada Vietnam, Philipine,
Brunei dan Malaysia, pada bulan Desember
2019 kapal Cina yang didampingi coast
guard menerobos perairan Indonesia, tepatnya ZEE yang berada di utara pulau
Natuna. Ini tentu bukan yang pertama. Terakhir pada 2015 terjadi hal yang sama.
Yang berbeda adalah reaksi Cina ketika ‘diperingatkan”. Pada tanggal 21 Maret
2016 secara mengejutkan pemerintah Cina mengakui wilayah perairan Natuna milik
Indonesia setelah menteri luar negeri kita (sudah bu Retno Marsudi memprotes
yang dilakukan kapal nelayan Cina di perairan Natuna). Pada saat itu juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying
menyatakan:
”Kedaulatan Natuna milik Indonesia. China tidak memiliki
keberatan dengan ini,” dalam briefing reguler,
seperti dikutip Reuters.
Kalau dibahas dari sisi hukum laut,
klaim Cina atas kepemilikan 90 persen Laut Cina tidak berdasar. Klaim yang
didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan nelayan dari jaman dahulu (secara
tradisional sejak jaman Dinaty Ming) , serta penentuan nine dash line (9 garis putus-putus) secara sepihak otomatis tidak
berlaku sejak saat ditetapkannya United Nations Convention on The Law Of The
Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dalam UCLOS ditentukan bahwa negara yang posisinya
dekat dengan lautan berhak atas laut tersebut sejauh 12 mil sebagai Laut
Teritorial dan 200 mil untuk hak ekslusif dalam mengelola sumber daya laut
tersebut. Perairan Natuna secara geografis sangat jauh dari daratan Cina, namun
9 dash line dapat memotong lebih kurang 83.000 km2 atau 30 persen dari luas
laut Indonesia di Natuna (Kompas, 04/01/20). Ini tentu sangat merugikan karena
UNCLOS disepakati sebagai ‘aturan main’ dalam pengelolaan dan pemanfaatan laut,
dan sebagai previllege bagi negara
yang posisinya dekat dengan laut. Selain hak, negara juga dibebani kewajiban
untuk menjaga wilayah lautnya. Cina tentu sudah paham, terutama karena Cina
juga merupakan pihak penandatangan UNCLOS 82 tersebut.
Aturan-aturan yang berlaku dalam
hukum internasional merupakan kesepakatan karena PBB tidak memiliki lembaga
legislatif yang bertugas membuat aturan sebagaimana DPR. Sehingga asas yang paling
utama dari hukum internasional adalah asas konsesual. Asas selanjutnya yang
berlaku adalah Pacta Sunt Servanda yang
menyatakan bahwa perjanjian sifatnya mengikat sehingga wajib dipatuhi dan
dilaksanakan oleh para pihak. Berdasar Konvensi Wina 1969 yang dimaksud anggota
atau negara pihak adalah negara yang
menyatakan dirinya terikat pada perjanjian dan karenanya perjanjian
tersebut berlaku padanya ( a state which
has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force). Dengan
menanda tangani UNCLOS 82 maka Cina terikat untuk patuh. Penandatanganan
perjanjian juga seharusnya dilanjutkan dengan ratifikasi, yaitu pengesahan oleh
negara pihak. Indonesia telah melakukan ratifikasi melalui UU no 17 tahun 1985
tentang Pengesahan UNCLOS. Artinya Indonesia telah mengakui laut yang dimiliki
Indonesia adalah seluas yang telah disepakati. Demikian juga dengan rute atau
jalur bagi kapal asing untuk melintas di wilayah Indonesia. Memang belum semua
negara pihak melakukan ratifikasi, AS salah satunya. Apa efek dari tidak
diratifikasinya perjanjian internasional?
Menurut KBBI ratifikasi adalah
pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan
undang-undang, perjanjian antarnegara, dan persetujuan hukum
internasional. Artinya negara pihak
menyampaikan kepada warga negaranya untuk juga patuh terhadap perjanjian
tersebut. Aturan/perjanjian internasional tidak dapat mengikat warga negara
pihak kecuali telah diadopsi menjadi hukum nasional. Tidak diratifikasinya satu
perjanjian oleh negara pihak tidak menghapuskan persetujuan pihak tersebut atas
perjanjian yang telah ditandatanganinya. Kemudian bagaimana kalau negara pihak
tidak melaksanakan perjanjian? Atau bila ada negara pihak yang dirugikan negara
pihak lainnya? Kelemahan hukum internasional adalah sifatnya yang ‘hanya’
mengikat dan tidak bisa memaksa. Hal ini karena masing-masing negara memiliki
kedaulatan yang membuat posisi negara sama di mata hukum (the principle of
sovereign equality of states) “All the
States enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are
equal members of the international community, notwithstanding differences of an
economic, social, political or other nature. Demikian juga dalam hal
penyelesaian sengketa. Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa dalam hukum
laut. Pasal 279-296 UNCLOS mengatur tentang metode penyelesaian sengketa,
termasuk kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Pada dasarnya
ketika terjadi perbedaan intepretasi dan penerapan aturan maka para pihak wajib
menyelesaikan secara damai terlebih dahulu, seperti melalui jalur diplomasi, perundingan
dan lainnya. Apabila tidak berhasil maka para pihak dipersilakan menyerahkan
kasusnya kepada pengadilan dan mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasar
aturan ini setelah upaya setempat telah dilakukan secara tuntas (exhaustion of local remedies) dan tidak
berhasil sesuai yang ditetapkan pada pasal 295.
Sebagai negara yang juga dirugikan
Cina, Philipina akhirnya mengambil cara yang berbeda dari negara yang bersengketa
di Laut Cina Selatan lainnya, yaitu melalui Pengadilan Arbitrase Tetap
Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) yang telah memutus China
melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan pada 12 Juli 2016. Namun
Cina bergeming dan menyatakan menolak putusan tersebut. Pada umumnya putusan
arbitrase bersifat final, namun Cina tetap mengharapkan penyelesaian sengketa
secara bilateral dalam hal sengketa atas Laut Cina Selatan.
Malaysia sebagai ‘korban’ juga
telah mengadukan pelanggaran yang dilakukan Cina kepada PBB kepada
Sekretaris Jenderal PBB pada 12 Desember 2019. Cina juga mengajukan keberatan
dan menyatakan bahwa mereka memiliki perairan internal, laut teritorial, dan
zona bersebelahan berdasarkan Nanhai Zhudao (kepulauan Laut Cina Selatan).
China juga memiliki zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. China memiliki
hak bersejarah di Laut Cina Selatan, dalam catatan diplomatik mereka kepada
Sekretaris Jenderal Antonio Guterres, sebagaimana dilansir South China
Morning Post, Selasa (17/12/2019). Namun Malaysia tetap pada pendiriannya
walaupun beberapa pihak mengingatkan bahwa sejumlah proyek pembangunan
infrastruktur di Malaysia saat ini disokong dari dana pinjaman China. Bagaimana
dengan Indonesia yang mengalami ‘dilema’ yang sama?
Indonesia memilih cara yang berbeda
saat ini yaitu dengan mendaftarkan kepada PBB perubahan nama perairan Natuna (yang
saat ini menjadi bagian dari Laut Cina Selatan) sebagai Laut Natuna Utara. Cina
sangat keberatan dengan langkah ini. Dalam beberapa media mereka mendesak
Indonesia membatalkan pendaftaran tersebut. Indonesia berargumen bahwa yang
diajukan hanya perairan yang posisinya berdekatan dengan Natuna, tidak seluruh
bagian laut yang memiliki luas 3,5 juta km2 tersebut. Dalam menghadapi Cina
kali ini Indonesia bersikap tegas tapi tetap mengutamakan cara damai. Langkah
mengajukan penggantian nama ini sebenarnya sudah dilakukan Vietnam dan
Philipine sebelumnya. Namun walaupun menolak keras, Cina menyatakan bahwa penggantian
nama tidak akan berarti apa-apa. Ini seperti orang yang bilang tidak peduli
padahal mengamati. J
Aksi Cina yang selalu sama dalam
mengklaim kepemilikan Laut Cina Selatan, yaitu dengan melanggar hak kedaulatan
dan hak berdaulat negara-negara yang secara geografis berdekatan dengan Laut
Cina Selatan menimbulkan reaksi yang berbeda dari negara-negara yang dirugikan.
Kemudian muncul muncul wacana bahwa untuk menghadapi Cina maka negara-negara
ASEAN harus bersatu. Melansir Tirto.id saat konflik Laut Cina Selatan memanas,
ada tren peningkatan kekuatan militer negara-negara ASEAN, khususnya di bidang
laut dan udara. Data Stockholm International
Peace Research Institute terbaru yang dirilis April 2017, menyebut dari
tahun 2007 hingga 2016, terjadi peningkatan belanja militer negara ASEAN hingga
47 persen. Dalam satu tahun, 2015-2016, kenaikannya bahkan hingga 5,7 persen. Ini
menjadi pertanda bagus bahwa kita memang harus selalu memutakhirkan alat
pertahanan, harus menyiapkan diri dan mulai menyiapkan ASEAN untuk selalu
mengumpulkan kekuatan di Laut Cina Selatan setiap terjadi pelanggaran atas
prinsip itikad baik dan penyalahgunaan hak yang diatur dalam UNCLOS pasal 300
yang menyatakan bahwa negara Peserta harus memenuhi kewajiban dengan itikad
baik (in good faith) berdasarkan
Konvensi ini dan harus melaksanakan hak-hak, yurisdiksi dan kebebasan-kebebasan
yang diakui dalam Konvensi ini dengan cara yang bukan merupakan suatu
penyalahgunaan hak.
Mungkin benar, menghadapi Cina
tidak bisa sendiri. Seperti dilansir Tirto, kekuatan militer Cina terbaik di
Asia. Alat pertahanan, SDM dan sumber daya penunjang kemiliteran yang dimiliki
Cina membuat Cina yang memiliki penduduk terbesar di dunia memiliki rangking
kekuatan militer ke-3 di dunia, mengikuti Amerika Serikat dan Rusia menurut
Global Fire Power (GFP). Di sisi lain letak laut yang menjadi sengketa dan
fakta bahwa 5 dari 10 anggota ASEAN yang bersengketa cukup menjadi alasan
saatnya ASEAN sebagai organisasi regional menjalankan komitmen dan tanggung
jawab kolektif dalam meningkatkan keamanan, perdamaian, stabilitas dan
kemakmuran regional lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada
perdamaian di kawasan sebagai perwujudan tujuan dibentuknya ASEAN yang terdapat
dalam pasal 1 Piagam ASEAN. Masing-masing negara anggota harus bisa
mengindahkan sementara konflik internal yang terjadi antara mereka, seperti
yang terjadi antara Indonesia dengan Vietnam beberapa waktu lalu.
Komentar
Posting Komentar