Belajar dari Kasus Baiq Nuril
*Disclaimer: tulisan ini dibuat pada Juli 2017
Peninjauan (Kasus Baiq Nuril) Kembali
“Putusan
PK Baiq Nuril sudah keluar dan MA menyatakan menolak. Nuril dinyatakan (tetap)
bersalah karena melanggar UU ITE pasal 27 (1) tentang muatan yang melanggar
kesusilaan. Diharapkan
melalui putusan ini dapat menjadi pembelajaran bagi Terdakwa pada khususnya
maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar dapat lebih berhati-hati dalam
memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih lagi yang menyangkut
data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antar personal, dimana pemanfaatan
dan penggunaannya harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”. Begitu caption yang sempat muncul di media online.
Pasal
27 ayat 1 UU ITE berbunyi: “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (Definisi kesusilaan walaupun
tidak dijelaskan dalam undang-undang, namun merujuk pendapat para ahli,saya
setuju bahwa kalimat yang ada didalam rekaman telah terpenuhi sebagai
pelangaran kesusilaan). Dalam pejelasan
pasalnya diatur yang dimaksud “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak
Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik,“mentransmisikan” adalah
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan
kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik, “membuat dapat diakses”
adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui
Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Artinya syarat utamanya
adalah dapat diketahui pihak lain atau publik.
Membaca pertimbangan putusan MA dengan
Terdakwa Baiq Nuril bagi saya yang menarik adalah kronologis bagaimana rekaman
yang dilakukan Nuril tersebar sebagai berikut: saksi HIM yang merupakan teman
Terdakwa mendatangi Terdakwa beberapa kali meminta isi rekaman percakapan
Terdakwa dengan korban dengan alasan
sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram. Setelah menyimpan rekaman tersebut
selama setahun akhirnya Terdakwa menyerahkan handphone miliknya yang berisi
rekaman pembicaraan tersebut, kemudian HIM menyambungkan kabel data antara
handphone milik Terdakwa ke laptop miliknya. Setelah rekaman ‘digandakan” ke
laptop kemudian HIM memindahkan, mengirimkan, mentransfer isi rekaman suara
tersebut ke laptop milik saksi lainnya. Dalam kronologisnya tercatat bahwa pada
awalnya Terdakwa tidak bersedia untuk menyerahkan pembicaraan tersebut kepada
saksi HIM namun akhirnya Terdakwa bersedia menyerahkan rekaman percakapan yang
ada di handphone milik Terdakwa tersebut karena Terdakwa sebelumnya menyadari
dengan sepenuhnya bahwa dengan dikirimnya dan dipindahkannya atau ditransfernya
isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut ke laptop
milik Terdakwa besar kemungkinan dan atau dapat dipastikan atau
setidak-tidaknya saksi Haji Imam Mudawin akan dapat mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik berupa isi rekaman pembicaraan yang memiliki muatan
pelanggaran kesusilaan” Poin berikutnya juga tercatat “bahwa ternyata beberapa
saat kemudian saksi HIM telah meneruskan, mengirimkan dan/atau mentransferkan
isi rekaman pembicaraan yang melanggar kesusilaan tersebut kepada saksi M,
kemudian oleh saksi M mengirim, mendistribusikan lagi isi rekaman pembicaraan
tersebut ke handphone milik Muh dan demikian seterusnya ke handphone L W, Hj.
ID, S, HI dan Han. Akhirnya rekaman tersebut
beredar, dan Nuril dinyatakan bersalah.
Menurut
penjelasannya syarat utama dari pasal 27 (1) adalah bahwa informasi atau
dokumen elektronik yang mengandung kesusilan dapat diketahui pihak lain atau
publik. Kesimpulannya siapa yang dianggap melanggar pasal ini? Ya orang yang
melakukan distribusi, transmisi dan membuat dapat diaksesnya informasi atau
dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Menyimpan dalam perangkat milik
pribadi tidak membuat satu informasi atau dokumen elektronik diketahui publik.
Dalam penjelasan kronologis jelas bukan Nuril yang melakukan transmisi (dari hp
ke laptop). Nuril hanya menyerahkan handphonenya dengan harapan sebagaimana
yang disampaikan temannya bahwa rekaman ini akan menjadi bahan laporan ke DPRD.
Bukan untuk disebarkan ke publik.
Menyimpan
bukti elektronik tidak sama dengan melakukan distribusi, transmisi dan membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik. Bukti elektronik merupakan alat bukti
yang sah (pasal 5), artinya segala informasi dan dokumen elektronik yang
dimiliki dapat menjadi alat bukti sehingga menyimpannya bukan merupakan suatu
pelanggaran selama informasi dan atau dokumen elektronik tersebut didapatkan
dengan cara yang tidak melanggar undang-undang.
Dalam pertimbangan putusan MA
diharapkan penjatuhan pidana kepada Nuril dapat menjadi pelajaran bagi Nuril
dan masyarakat “agar dapat lebih
berhati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih lagi
yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antar personal,
dimana pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan atas persetujuan orang
yang bersangkutan” . Menurut saya, hal tersebut jauh lebih tepat apabila
disampaikan pada kasus penyadapan, atau perlindungan data pribadi.
Rekaman yang
dilakukan Nuril bukan merupakan penyadapan sebagaimana yang dimaksud pasal 31
UU ITE, karena: 1. Nuril adalah lawan bicara dalam percakapan tersebut 2. Merekam
berbeda dengan menyadap. Dalam KBBI arti menyadap ialah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia,
pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Dalam
penjelasan pasal 40 UU no 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinyatakan “yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal
ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan
telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada
dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus
dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Jelas Baiq ada dalam
percakapan dan tidak termasuk melakukan penyadapan.
Semoga tulisan
ini dapat mengurangi “skeptisisme” masyarakat terhadap UU ITE walaupun upaya
hukum atas kasus Nuril telah diputuskan semua karena dalam komentar di media
sosial banyak yang menganggap UU ITE memiliki pasal karet atau menjadi “jebakan
Batman” bagi pengguna internet. Pandangan ini sudah tumbuh dan berkembang
selama masa pilpres kemarin. Sebagai warga negara kita memiliki hak untuk
memanfaatkan teknologi. Walaupun tidak sempurna, peraturan perundangan kita
telah disusun sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan masyarakat dan
negara. Tinggal bagaimana penegakannya yang tidak boleh terlepas dari 3
tujuannya yaitu untuk kepastian, kemanfaatan dan memberikan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Komentar
Posting Komentar